Maaf, juga kompensasi telah diberikan Pemerintah Belanda pada para janda korban pembantaian Rawagede. Setelah 64 tahun. Itupun melalui paksaan putusan Pengadilan Den Haag.
Tindakan Pemerintah Belanda itu ternyata membuat kesal sejumlah warganya. Salah satunya, seorang penulis di situs web kelompok Indo Belanda, campuran Indonesia-Belanda. "Sekarang giliran Indonesia minta maaf atas kekerasan pada zaman Bersiap," kata dia, seperti dimuat Radio Nederlands Siaran Indonesia, 17 Januari 2012.
Ia menceritakan, berdasarkan cerita kakeknya yang keturunan campur, pernah terjadi kekerasan yang dilakukan pemuda Indonesia di kamp interniran. "Membunuh dengan bambu runcing dan kelewang, tangan dan kaki dipotong dan dibuang ke kali," kata dia, juga menuduh Bung Tomo sebagai pihak yang memanas-manasi.
Tak hanya di dunia maya, koran Belanda, Trouw dan NRC Handelsblad juga memuat surat pembaca tentang topik senada: meminta perhatian untuk apa yang dialami kalangan Indo Belanda setelah Jepang takluk.
Lalu apa yang dimaksud zaman Bersiap?
Itu adalah era di mana terjadi kekerasan oleh berbagai kelompok pemuda radikal terhadap orang Indo Belanda. Periode berdarah ini masuk buku sejarah Belanda sebagai zaman Bersiap. Meski, tidak banyak orang di Belanda tahu zaman Bersiap ini.
David Barnouw, sejarawan Lembaga Dokumentasi Perang Belanda, NIOD menjelaskan, yang dimaksud dengan Bersiap adalah periode sekitar 17 Agustus 1945 sampai awal 1946.
"Periode penuh kekerasan, tidak ada yang berkuasa, kelompok-kelompok para-militer, para kriminal membunuh orang Indo Belanda dan Cina. Orang Belanda totok masih aman di kamp interniran," kata dia.
Sementara, Geert Prins, redaktur majalah orang Indo Belanda Moesson, spakat di Belanda pun tidak banyak orang yang tahu mengenai periode penuh kekerasan ini. Namun, ia zaman Bersiap lepas dari apa yang terjadi di Rawagede. Rawagede adalah kejadian yang berbeda dan sangat mengerikan.
Geert Prins berpendapat apa yang terjadi di zaman Bersiap masih mendapat perhatian besar di kalangan pembaca majalah Moesson. Yang mencolok, mereka jarang mengeluh atau menceritakan pengalaman ini.
Moesson, demikian ungkap Geert Prins, pernah mewawancarai para korban Bersiap, antara lain bibi pemimpin redaksi Moesson, Marjolein van Asdonk. Ia sangat menderita secara psikis sampai sekarang. Dan anehnya tidak ada orang yang tahu, juga anak-anaknya.
Ketika ditanya mengapa hal ini tidak pernah disinggung? Jawabannya: "Orang toh tidak akan mengerti."
Tak bisa dibandingkan
Pembantaian Rawagede 9 Desember 1947 dilakukan oleh 300 tentara Belanda yang dipimpin Mayor Alphons Wijnen. Sejarawan Universitas Negeri Malang, Hariyono mengatakan, itu tak bisa dibandingkan, apalagi disamakan dengan zaman Bersiap.
"Konteks yang harus dipahami adalah siapa yang membunuh, tentara yang terlatih oleh pemerintah, atau para gerilyawan yang belum terkendali dan terorganisir oleh pemerintah RI. Rakyat melampiaskan kekecewaannya sekaligus kemarahannya, ketika menghadapi pasukan
Belanda maupun orang-orang Indo Belanda dengan melakukan kekerasan," kata dia. Hariyono menyamakan kekerasan massal ini dengan kekerasan setelah reformasi pada tahun 1998, rakyat yang kurang terdidik kemudian mengadakan aksi anarkis.
Inilah konteks budaya dan politik yang juga terjadi pada awal revolusi kemerdekaan Indonesia terhadap kalangan Indo Belanda.
David Barnouw, sejarawan NIOD, Lembaga Dokumentasi Perang Belanda juga menolak persamaan Rawagede dengan zaman Bersiap. Dalam kasus Rawagede jelas siapa pelakunya, sekelompok tentara Belanda di bawah pimpinan seorang mayor.
Kemudian susah juga menuntut maaf dari Indonesia untuk zaman Bersiap, karena pada gilirannya Indonesia akan menuntut minta maaf juga, berlanjut sampai kapan? "Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC yang membantai rakyat Banda, apakah pemerintah Belanda harus minta maaf juga?," kata dia.
Apalagi, kelompok Indo Belanda yang mengalami kekerasan pada zaman Bersiap tidak minta ganti rugi, demikian ungkap Geert Prins, redaktur majalah Indisch Moesson. "Kami tidak dendam seperti yang digambarkan dalam media Belanda, orang Indo Belanda minta pengakuan sejarah mereka," kata dia. Meski, "kami akan senang kalau pihak Indonesia minta maaf."
Pun Jan A. Somers, seorang pembaca harian NRC Handelsblad dalam rubrik surat pembaca. "Saya tidak minta ganti rugi untuk keluarga saya yang dibunuh, saya akan merasa malu. Yang saya inginkan adalah pengakuan, bukan permintaan maaf. Agar orang mengenal para korban, supaya jangan dilupakan generasi penerus," kata dia.(np)• VIVAnews
"Giliran Indonesia Minta Maaf ke Belanda"
Thank you for visited me, Have a question ? Contact on : rhyanmawo@gmail.com.
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...