Melihat anaknya terlahir perempuan, hampir semua orangtua antusias menyiapkan perlengkapan bayi yang memperkuat gendernya, seperti pakaian bernuansa pink, bandana, pita, rok, juga boneka. Jika laki-laki, perlengkapan yang disiapkannya pun cenderung maskulin seperti baju bernuansa biru, celana, dan bola.
Tapi tidak bagi pasangan Beck Laxton dan Kieran Cooper. Meski tahu betul anaknya berkelamin laki-laki, mereka tetap membelikan rok, aksesori rambut, dan mainan khas anak perempuan. Mereka ingin anaknya tumbuh netral, tanpa pilihan gender.
Selama lima tahun, pasangan itu menyembunyikan jenis kelamin anaknya. Hanya kerabat dekat yang benar-benar mengetahui jenis kelamin bocah bernama Sasha itu.
Laxton dan Cooper menempatkan Sasha di kamar dengan interior netral berwarna kuning. Memperbolehkan Sasha bermain boneka, tapi juga tak melarangnya memainkan lego atau tembak-tembakan. Membelikannya rok tutu dan sepatu balet, tapi juga menyiapkan kaos dan celana sporty.
Mereka ingin anaknya bisa mengekspresikan dirinya secara alami dan tumbuh tanpa pengaruh gendernya. "Gender akan memengaruhi anak harus memakai apa, tidak boleh bermain apa, aku tak ingin membatasi pilihan hidupnya," kata Laxton yang baru tertarik menanyakan jenis kelamin anaknya, 30 menit usai persalinan, dikutip Daily Mail.
Mulanya, pasangan Sawston, Cambridgeshire, itu tetap menolak mengungkap jenis kelamin anaknya di tengah kemarahan publik yang menuduh mereka telah membangun karakter anak menjadi aneh. Ia tak peduli dianggap sebagai wanita gila yang tak tahu kelamin anaknya sendiri.
Mereka berubah pikiran ketika anaknya mulai masuk sekolah dasar. Meski Sasha akan mengenakan seragam laki-laki ke sekolah, mereka tetap tak membuang baju-baju dan mainan wanita. "Baju-baju perempuan bisa untuk bersenang-senang di rumah, kami tidak pernah memaksa," katanya.
Dr Daragh McDermott, dosen psikologi di Anglia Ruskin University, mengatakan, sulit untuk memprediksi efek jangka panjang dari pendidikan konvensional yang membuat kening berkerut seperti itu. "Masih sulit menganalisis apakah anak yang dibesarkan dengan gender netral memiliki konsekuensi psikologis langsung atau jangka panjang."
"Tapi yang bisa saya katakan, identitas gender anak tak hanya dipengaruhi aturan yang diterapkan keluarga, tapi juga lingkungan sekolah, sosialisasi dengan anak-anak lain, orang dewasa di sekitarnya, dan media massa," McDermott menambahkan.
Kasus serupa menimpa pasangan asal Kanada, Kathy Witterick dan David Stocker. Tahun lalu mereka menghadapi kecaman lantaran bersikeras membesarkan anak mereka dengan gender netral.
Dr Harold Koplewicz, psikiater anak di Amerika Serikat, merasa terganggu dengan fenomena itu. Ia menganggapnya sesat. "Ketika anak lahir, anak bukan batu tulis kosong. Orang memiliki otak laki-laki dan otak perempuan. Ada alasan mengapa anak laki-laki lebih kasar dan cenderuk keras, dan mengapa perempuan memiliki kemampuan membangun bahasa lebih baik." (eh) • VIVAnews
Tapi tidak bagi pasangan Beck Laxton dan Kieran Cooper. Meski tahu betul anaknya berkelamin laki-laki, mereka tetap membelikan rok, aksesori rambut, dan mainan khas anak perempuan. Mereka ingin anaknya tumbuh netral, tanpa pilihan gender.
Selama lima tahun, pasangan itu menyembunyikan jenis kelamin anaknya. Hanya kerabat dekat yang benar-benar mengetahui jenis kelamin bocah bernama Sasha itu.
Laxton dan Cooper menempatkan Sasha di kamar dengan interior netral berwarna kuning. Memperbolehkan Sasha bermain boneka, tapi juga tak melarangnya memainkan lego atau tembak-tembakan. Membelikannya rok tutu dan sepatu balet, tapi juga menyiapkan kaos dan celana sporty.
Mereka ingin anaknya bisa mengekspresikan dirinya secara alami dan tumbuh tanpa pengaruh gendernya. "Gender akan memengaruhi anak harus memakai apa, tidak boleh bermain apa, aku tak ingin membatasi pilihan hidupnya," kata Laxton yang baru tertarik menanyakan jenis kelamin anaknya, 30 menit usai persalinan, dikutip Daily Mail.
Mulanya, pasangan Sawston, Cambridgeshire, itu tetap menolak mengungkap jenis kelamin anaknya di tengah kemarahan publik yang menuduh mereka telah membangun karakter anak menjadi aneh. Ia tak peduli dianggap sebagai wanita gila yang tak tahu kelamin anaknya sendiri.
Mereka berubah pikiran ketika anaknya mulai masuk sekolah dasar. Meski Sasha akan mengenakan seragam laki-laki ke sekolah, mereka tetap tak membuang baju-baju dan mainan wanita. "Baju-baju perempuan bisa untuk bersenang-senang di rumah, kami tidak pernah memaksa," katanya.
Dr Daragh McDermott, dosen psikologi di Anglia Ruskin University, mengatakan, sulit untuk memprediksi efek jangka panjang dari pendidikan konvensional yang membuat kening berkerut seperti itu. "Masih sulit menganalisis apakah anak yang dibesarkan dengan gender netral memiliki konsekuensi psikologis langsung atau jangka panjang."
"Tapi yang bisa saya katakan, identitas gender anak tak hanya dipengaruhi aturan yang diterapkan keluarga, tapi juga lingkungan sekolah, sosialisasi dengan anak-anak lain, orang dewasa di sekitarnya, dan media massa," McDermott menambahkan.
Kasus serupa menimpa pasangan asal Kanada, Kathy Witterick dan David Stocker. Tahun lalu mereka menghadapi kecaman lantaran bersikeras membesarkan anak mereka dengan gender netral.
Dr Harold Koplewicz, psikiater anak di Amerika Serikat, merasa terganggu dengan fenomena itu. Ia menganggapnya sesat. "Ketika anak lahir, anak bukan batu tulis kosong. Orang memiliki otak laki-laki dan otak perempuan. Ada alasan mengapa anak laki-laki lebih kasar dan cenderuk keras, dan mengapa perempuan memiliki kemampuan membangun bahasa lebih baik." (eh) • VIVAnews